Konsultan Pajak Batam – Berbagai upaya positif dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengamankan penerimaan negara. Salah satunya dengan mengamandemen anti-tax treaty abuse rules di Indonesia melalui penerbitan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 (PER-25) tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty.
Peraturan ini berlaku efektif pada 1 Januari 2019 mengganti ketentuan sebelumnya yakni PER-24/PJ/2010 jo. PER-10/PJ/2017 dan PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010 tentang Pencegahan Penyalahgunaan P3B.
Penerbitan PER-25 bertujuan untuk menyederhanakan prosedur administratif, menyempurnakan ketentuan, serta meningkatkan fungsi pengawasan atas pengajuan pemanfaatan fasilitas P3B oleh Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN).
Jika sebelumnya terdapat dua jenis form (Form DGT 1 dan Form DGT 2), maka PER-25 memperkenalkan konsep one Form DGT for all nonresident income recipients. Penyampaian Form DGT pun tidak lagi dilakukan manual, tetapi secara elektronik sehingga tidak lagi mensyaratkan legalisasi.
Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) yang tidak dapat memenuhi persyaratan dalam Form DGT tidak dapat mendapatkan fasilitas dalam P3B dan akan dikenakan ketentuan perpajakan sesuai dengan Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia.
Keberadaan dan kebenaran dalam pengisian Form DGT adalah hal yang krusial bagi DJP untuk menghindari adanya penyalahgunaan fasilitas P3B (tax treaty abuse). Namun dalam praktiknya, masih banyak pemotong/pemungut serta fiskus yang belum memahami maksud dari Form DGT dalam lampiran PER-25. Kepedulian dan pemahaman yang sama patut untuk dibangun demi optimalisasi pemotongan dan/atau pemungutan pajak dari WPLN yang menerima penghasilan di Indonesia.
Latar Belakang Pentingnya Anti-Tax Treaty Abuse Rules
Secara umum, negara-negara di dunia memiliki ketentuan perpajakan yang berbeda, baik dari besaran tarif, jenis pajak, dan sebagainya.
Contoh sederhana, tarif pajak penghasilan badan di Indonesia adalah sebesar 22% sedangkan di negara Singapura adalah 17% (OECD Corporate Tax Statistics, 2020). Jika sebuah perusahaan Singapura melakukan transaksi lintas batas (cross borders) dan mendapatkan penghasilan dari Indonesia, negara manakah yang berhak untuk memungut pajak atas penghasilan tersebut? Apakah dikenakan pajak dua kali (double taxation), baik di Indonesia maupun di Singapura? Atau justru tidak terkena pajak di mana pun?
Jika dapat memilih, perusahaan tersebut tentu akan lebih memilih dipungut pajak oleh negara Singapura karena tarif yang lebih rendah. Namun, pemerintah kita berkewajiban mengamankan penerimaan pajak karena penghasilan yang diperoleh perusahaan tersebut bersumber dari negara Indonesia.
Pada titik ini, keberadaan P3B penting sebagai upaya mengamankan penerimaan negara. P3B dalam PER-25 didefinisikan sebagai perjanjian di bidang perpajakan antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda (double taxation) dan pengelakan pajak (tax evasion). Dalam ranah hukum, ketentuan dalam P3B bersifat lex specialis. Kedudukannya membatasi penerapan ketentuan domestik suatu negara.
Di dalam P3B dimungkinkan untuk disepakati adanya ketentuan tarif pajak penghasilan yang lebih rendah dari Undang-undang Pajak Penghasilan di Indonesia atau bahkan bisa juga dikecualikan dari pengenaan pajak di negara sumber penghasilan berasal. Sehingga SPLN dapat memanfaatkan fasilitas perpajakan dalam P3B sebagai upaya tax planning yang ia miliki sepanjang memenuhi persyaratan yang dibuat oleh negara pemilik sumber penghasilan. Ketentuan mengenai tata cara penerapan P3B ini disebut dengan anti-tax treaty abuse rules dan di Indonesia diterbitkan melalui PER-25.
Pengawasan atas Syarat Pemanfaatan Fasilitas P3B
Pengawasan atas pemanfaatan fasilitas P3B dapat dilakukan oleh Account Representative (AR) dengan melakukan penelitian substantif atas Form DGT yang diunggah melalui situs web pajak.go.id.
Pertama, lakukan penelitian apakah betul subjek pajak yang mengajukan pemanfaatan fasilitas P3B tersebut berasal dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B dan bukan merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) Indonesia.
Dua syarat yang pertama tersebut dibuktikan dengan pengisian Form DGT – Part II yakni Certification by Competent Authority or Authorized Tax Office of the Country of Residence. Sertifikasi ini disebut dengan Surat Keterangan Domisili (SKD) yang diisi oleh Subjek Pajak Luar Negeri dan disahkan oleh pejabat berwenang asal SPLN.
SKD dalam PER-25 disampaikan secara elektronik dengan cara mengunggah ke dalam sistem milik DJP. Sertifikasi pada Part II ini dapat digantikan dengan formulir atau keterangan tentang status residensi (Certificate of Residence) SPLN yang lazim diterbitkan di negara mitra tersebut. Namun demikian, SPLN harus tetap mengisi bagian-bagian lain dalam Form DGT.
Kedua, jika penerima penghasilan tersebut memang betul merupakan SPLN maka lakukan penelitian apakah ia berhak dipotong/dipungut PPh Pasal 26 menggunakan tarif berdasarkan ketentuan dalam P3B. AR harus memastikan bahwa tidak terjadi penyalahgunaan P3B. Syarat ini dibuktikan dengan pengisian Form DGT – Part V angka 5 sampai dengan angka 10 yang mengharuskan WPLN memiliki substansi ekonomi, bentuk hukum yang sesuai, manajemen yang memiliki kewenangan cukup, aset yang memadai untuk usaha, pegawai yang mumpuni, serta usaha kegiatan yang aktif sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 5 PER-25.
Ketiga, AR patut memastikan bahwa penerima penghasilan tersebut merupakan beneficial owner dalam hal dipersyaratkan dalam P3B. Hal ini dibuktikan dengan pengisian Form DGT – Part VI dengan WPLN tidak bertindak sebagai agen, nominee, atau conduit, mempunyai kendali atas aset, tidak lebih dari setengah penghasilan digunakan untuk memenuhi kewajiban, menanggung risiko atas aset, serta tidak mempunyai kewajiban meneruskan penghasilan dari Indonesia kepada pihak lain, sesuai ketentuan pasal 6 PER-25.
Beneficial owner merupakan satu klausul yang ada dalam Pasal Dividen, Bunga dan Royalti dalam P3B. Dalam kasus pengisian Form DGT, Part VI harus diisi meskipun aliran penghasilan bukan merupakan dividen, bunga, atau royalti. Hal ini untuk mengantisipasi apabila SPLN mendapatkan penghasilan tersebut di kemudian hari, karena sifat SKD yang berlaku sekali unggah selama masa periode berlaku maksimal 12 bulan.
Dalam hal SPLN tersebut tidak dapat memenuhi syarat kumulatif di atas atau terlambat menyampaikan SKD SPLN, maka tarif PPh Pasal 26 yang diberlakukan adalah 20% sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang PPh di Indonesia.
Jika berdasarkan data di dalam e-Bupot (bukti potong elektronik) yang disampaikan oleh pemotong/pemungut pajak terjadi kurang bayar karena kesalahan penggunaan tarif, AR dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) dan membatalkan pemanfaatan P3B atas WPLN tersebut.
Pada titik ini, penelitian substantif oleh fiskus menjadi penting untuk dilakukan guna mengamankan potensi penerimaan negara sekaligus mengedukasi pemotong/pemungut pajak yang masih belum paham urgensi dari kebenaran informasi yang diunggah dalam Form DGT. Jangan sampai fasilitas P3B serta merta diberikan oleh negara kita kepada WPLN yang sebetulnya tidak memenuhi persyaratan dalam PER-25.
Sumber : www.pajak.go.id
Konsultasikan keluhan keuangan bisnis anda pada kami, siap membantu apapun kendala keuangan anda. Kami menyediakan berbagai macam jasa keuangan diantaranya :
- Jasa Pembukuan dan Jasa Akuntansi
- Jasa Penyusunan Laporan Keuangan
- Jasa Audit
- Jasa Konsultasi Manajemen & Keuangan
- Jasa Konsultasi Perpajakan / Pelayanan Pajak
- Penjualan Software Accounting & Kasir (POS) Offline dan Online
- Jasa Pelatihan (Training Akuntansi dan Software Akuntansi / Kasir)
KANTOR JASA AKUNTANSI BATAM
KANTOR KONSULTAN PAJAK BATAM
KONSULTAN PAJAK BATAM
KANTOR AKUNTAN PUBLIK BATAM
KONSULTAN KEUANGAN BATAM
SOFTWARE AKUNTANSI BATAM
SOFTWARE ACCOUNTING BATAM
SOFTWARE KASIR BATAM
SOFTWARE POS BATAM
PT. LADFANID KONSULTINDO BATAM
JASA PEMBUKUAN BATAM
JASA PERPAJAKAN BATAM
JASA AKUNTANSI BATAM