Presiden Joko Widodo pada tanggal 29 Oktober 2021 telah menandatangani Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), setelah di sahkan oleh DPR dalam rapat paripurna pada 7 Oktober 2021.
UU HPP ini mengubah empat UU perpajakan, yaitu UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) stdtd UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) stdtd UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM stdtd UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, serta UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai stdtd UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Tujuan UU HPP diterbitkan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan dan percepatan pemulihan perekonomian dan optimalisasi penerimaan negara, mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum, yang dilaksanakan melalui reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif dan perluasan basis perpajakan serta meningkatkan kepatuhan suka rela Wajib Pajak. Dengan diterapkannya UU HPP ini diharapkan akan terdorong terwujudnya sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif dan akuntabel.
Ada enam aturan pokok terbaru dalam UU HPP ini, yaitu [1] perubahan pada Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP); [2] Pajak Penghasilan (PPh); [3] Pajak Pertambahan Nilai (PPN); [4] Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak (PPS WP); [5] Pajak Karbon; dan [6] Cukai.
Poin pertama UU HPP menyangkut bidang KUP. Di sana terdapat aturan baru bagi wajib pajak Orang Pribadi (OP) yaitu digunakannya Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Penggunaan NIK sebagai identitas Wajib Pajak Orang Pribadi tentu akan memerlukan proses pengintegrasian basis data kependudukan dari Menteri Dalam Negeri, c.q. Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) menjadi basis data perpajakan. Untuk proses integrasi data ini, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri diwajibkan memberikan data kependudukan dan data balikan dari pengguna kepada Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Dengan adanya ketentuan NIK menjadi NPWP ini tentu muncul pertanyaan pada masyarakat, “Apakah setiap penduduk yang memiliki NIK akan menjadi wajib pajak dan harus membayar pajak?” Pertanyaan di atas dijawab oleh Pasal 2 ayat (1) UU HPP, yang menyebutkan bahwa,”Setiap WP yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP.” Dengan demikian, NPWP diberikan hanya jika terpenuhi dua syarat, yaitu subjektif dan objektif.
Syarat subjektif terpenuhi jika orang pribadi yang merupakan WNI bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari (Pasal 2 ayat (2) UU PPH). Persyaratan objektif terpenuhi apabila subjek pajak menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana dirinci dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPH. Selain memiliki objek pajak, orang pribadi yang diwajibkan memiliki NPWP adalah orang yang memiliki Penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), yaitu Rp54 juta setahun untuk wajib pajak Orang Pribadi atau Rp4,5 juta per bulan (Pasal 7 UU HPP). Dengan PTKP ini, masyarakat yang berpenghasilan sampai dengan Rp4,5 juta perbulan tetap tidak dikenakan pajak.
Untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum, melalui UU HPP ini dilakukan penurunan sanksi bagi wajib pajak saat dilakukan pemeriksaan dari sanksi kenaikan 50% menjadi sanksi bunga ditambah uplift factor 20% untuk PPh kurang dibayar, sanksi kenaikan 100% diturunkan menjadi sanksi bunga ditambah uplift factor 20% untuk PPh kurang dipotong, sanksi kenaikan 100% diturunkan menjadi kenaikan 75% untuk PPh dipotong tapi tidak disetor, sanksi kenaikan 100% diturunkan menjadi 75% untuk PPN dan PPnBM kurang dibayar. Sanksi upaya hukum berupa pengajuan keberatan diturunkan menjadi 30% dari sebelumnya 50%, sanksi banding turun menjadi 60% dari 100%, sanksi Peninjauan Kembali (PK) turun menjadi 60% dari sebelumnya 100%.
Poin kedua UU HPP adalah perubahan dalam UU Pajak Penghasilan (PPh). Wajib pajak OP yang memiliki peredaran bruto tertentu, yaitu yang memiliki penghasilan bruto paling banyak Rp4,8 miliar setahun (sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan Pasal 7 ayat (1) PP No. 23 Tahun 2018), tidak dikenai PPh atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta dalam satu tahun. Pembebasan PPh bagi wajib pajakyang tergolong UMKM ini merupakan upaya pemerintah untuk membangkitkan sektor UMKM yang terkena dampak pandemi covid 19.
Untuk lebih mencerminkan keadilan, tarif PPh Orang Pribadi dilakukan perubahan tarif dan bracket. Lapisan rentang penghasilan 0-60 juta tarifnya 5%, Rp60 juta-Rp250 juta tarifnya 15%, penghasilan Rp250 juta-500 juta tarifnya 25%, penghasilan Rp500 juta-Rp5 miliar tarifnya 30%, dan penghasilan di atas Rp5 miliar dikenakan tarif 35%. Perubahan tarif ini tidak menambah beban PPh bagi OP yang berpenghasilan s.d. Rp5 miliar.
Poin penting ketiga dalam UU HPP adalah perubahan di bidang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU HPP menghapus beberapa ayat tentang barang/jasa yang termasuk bukan objek PPN (pasal 4A UU PPN) sehingga menjadi objek PPN. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat seperti beras, jagung, dan lain-lain dibebaskan PPN (Pasal 16B UU PPN). Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya bukanlah objek PPN karena sudah menjadi objek Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Demikian juga jasa kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, jasa parkir, jasa boga, dan katering yang merupakan objek PDRD tidak lagi menjadi objek PPN.
Tarif PPN akan dinaikkan menjadi 11% karena tarif PPN Indonesia masih di bawah tarif PPN negara-negara tetangga seperti Filipina 12%, Arab Saudi 15%, Korea Utara 17%, Pakistan 17%, India 18%. Tarif tersebut akan dinaikkan menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025.
Poin penting keempat dalam UU HPP adalah diberlakukannya Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yaitu pemberian kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program Pengampunan Pajak (Peserta Tax Amnesty lama) dan pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh orang pribadi Tahun Pajak 2020 (Pasal 5 s.d. Pasal 12 UU HPP).
Bagi wajib pajak yang belum mengungkapkan harta dan ditemukan datanya oleh Direktorat Jenderal Pajak, Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017 menyebutkan bahwa atas harta bersih yang belum dilaporkan dalam SPT PPh dianggap sebagai penghasilan yang bersifat final. Pengenaan pajaknya dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan Dasar Pengenaan PPh, yaitu PPh Badan sebesar 25%, PPh Orang Pribadi sebesar 30%, wajib pajak tertentu sebesar 12,5%.
Selain dikenakan final, Pasal 18 ayat (3) UU No 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menyebutkan bahwa atas tambahan penghasilan dikenai PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPh dan ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% dari PPh yang tidak atau kurang dibayar.
Poin penting keempat dalam UU HPP adalah Pajak Karbon (Pasal 13 UU HPP). Pemerintah merasa perlu mengendalikan peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer yang menyebabkan kenaikan suhu permukaan bumi melalui penetapan tarif pajak karbon lebih tinggi atau sama dengan besaran tarif harga karbon di pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Point penting keenam dalam UU HPP adalah tentang Cukai, yang memberi penegasan dengan penambahan jenis Barang Kena Cukai hasil tembakau berupa rokok elektrik, mengubah prosedur penambahan pengurangan jenis Barang Kena Cukai, penegakan Hukum Pidana Cukai dengan mengedepankan Pemulihan Kerugian Pendapatan Negara dan Wajib Bayar diberikan kesempatan untuk mengembalikan kerugian pada pendapatan negara dengan membayar sanksi.
Dengan diterapkannya UU HPP ini diharapkan akan dapat meningkatkan penerimaan pajak dan memperbaiki defisit anggaran serta peningkatan rasio pajak untuk meraih kesejahteraan, keadilan, serta pembangunan mental dan spritual yang lebih merata.
Sumber : www.pajak.go.id
Konsultasikan keluhan keuangan bisnis anda pada kami, siap membantu apapun kendala keuangan anda. Kami menyediakan berbagai macam jasa keuangan diantaranya :
- Jasa Pembukuan dan Jasa Akuntansi
- Jasa Penyusunan Laporan Keuangan
- Jasa Audit
- Jasa Konsultasi Manajemen & Keuangan
- Jasa Konsultasi Perpajakan / Pelayanan Pajak
- Penjualan Software Accounting & Kasir (POS) Offline dan Online
- Jasa Pelatihan (Training Akuntansi dan Software Akuntansi / Kasir)
KANTOR JASA AKUNTANSI BATAM
KANTOR KONSULTAN PAJAK BATAM
KONSULTAN PAJAK BATAM
KONSULTAN PAJAK BATAM
KONSULTAN PAJAK BATAM
KONSULTAN PAJAK KEPRI
KONSULTAN PAJAK KEPRI
KANTOR KONSULTAN PAJAK KEPRI
KANTOR KONSULTAN PAJAK KEPRI
KANTOR KONSULTAN PAJAK TANJUNG PINANG
KANTOR KONSULTAN PAJAK BINTAN
KONSULTAN PAJAK TANJUNG PINANG
KONSULTAN PAJAK BINTAN
KANTOR AKUNTAN PUBLIK BATAM
KONSULTAN KEUANGAN BATAM
SOFTWARE AKUNTANSI BATAM
SOFTWARE ACCOUNTING BATAM
SOFTWARE KASIR BATAM
SOFTWARE POS BATAM
PT. LADFANID KONSULTINDO BATAM
JASA PEMBUKUAN BATAM
JASA PERPAJAKAN BATAM
JASA AKUNTANSI BATAM